Total Tayangan Halaman

Kamis, 21 Juni 2012

AKHIR DARI RASA KAGUM

Dua tahun setelah Wisuda, aku menikah dengan seorang pria pilihan orang tuaku. Saat itu, aku belum siap untuk berumah tangga, aku masih punya keinginan untuk menggapai cita-citaku yang belum kesampaian. Pria tersebut putra dari Sahabat Ayah sewaktu kuliah dulu. Semenjak Ayah meninggal, sahabat Ayah tersebut selalu membantu keluargaku. Ibuku hanya ibu rumah tangga dan sepeninggal Ayah, Ibu harus membanting tulang mengajar mengaji dari rumah ke rumah. Untungnya Ibu sejak kecil pintar mengaji dan sering ikut Musabaqah. Penghasilan Ibu memang tidak seberapa, Alhamdulillah cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku dan adikku Irwan mendapatkan beasiswa di sekolah, sehingga Ibu tak mengkhawatirkan biaya pendidikan kami. Disamping itu sejak kuliah aku juga bekerja sebagai guru privat.

Disaat sahabat Ayah datang ke rumah untuk melamar, Ibu langsung menerima tanpa minta persetujuanku terlebih dahulu. Aku sangat marah sekali waktu itu, sampai-sampai aku tidak bertegur sapa dengan Ibu. Bahkan waktu yang dijanjikan hanya satu bulan, sama sekali aku tidak mengerti dengan keputusan Ibu. Apakah Ibu sudah kenal dengan orang yang akan dijodohkan denganku? Tapi apakah cukup dengan melihat foto saja, seseorang bisa suka tanpa mengenal pribadi masing-masing. “Pria aneh” besitku dalam hati, tapi dia seorang dosen.

Dua hari setelah lamaran itu, Ibu membawa seorang tukang jahit ke rumah untuk mengukur baju untukku. Aku tetap bersikeras tidak mau diukur, akhirnya Ibu mengambil salah satu baju dari lemariku.

Aku tidak punya cara bagaimana agar pernikahan ini gagal. Sahabat dekatku Fahira juga tak bisa membantu. Semasa kuliah Fahira tahu kalau aku menyukai salah seorang senior yang saat itu menjadi Asisten Dosen. Namun perasaanku tak kesampaian karena dia begitu cepat meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studynya ke Australi. Seperti biasa Fahira sering datang ke rumah, bercerita tentang pekerjaan dan kali ini dia membawa sebuah Novel hadiah dari seseorang yang mengaguminya. Melihat judulnya aku ikut tertarik untuk membacanya dan dengan senang hati Fahirapun meminjamkan Novel itu.

“Dijaga Novelnya ya kak, jangan sampai hilang lo”.

“Kelihatannya bu guru kita ini sayang bangat sama Novelnya atau orang yang ngasih Novel ini ya”.

“Idih kak Mel mulai lagi deh,” balas Fahira sembari mencubit pipiku.

“Nggak canda kok, kak Mel serius, jadi udah sebulan ngajar gimana ceritanya nih”.

“Fahira ngerti maksud kak Mel apa, Alhamdulillah tadi Fahira terima gaji pertama lo kak, jangan khawatir kak Me pasti Fahira traktir deh”, ucap Fahira

“Kamu harus bersyukur dek, meski kamu disana sebagai guru bantu, siapa tahu nanti kamu bisa menjadi guru tetap”.

“Aamiin.....”, jawab Fahira.

Hari yang begitu menakutkan bagiku pun datang. Sudah dua hari Fahira menginap di rumahku, dia sibuk menghiasi kamar pengantin buatku sementara aku masih berkurung diri di kamar. Sebagai seorang anak yang akan menikah, seharusnya minta maaf pada orang tua, namun aku tidak melakukannya. Selesai shalat Isya, Ibu datang ke kamar dan menghampiriku yang sedang membaca AlQur'an.

“Amel, Ibu ingin bicara sama kamu, sebentar saja”, ucap Ibu

Akupun menutup Alqur'an

“Amel, besok hari pernikahanmu, Ibu tahu kamu sangat marah dengan keputusan Ibu ini, Ibu minta maaf, Ibu yakin pria itu baik buat kamu, Ibu sudah tua mel, dalam waktu dekat Ibupun pasti dipanggil Sang Khalik dan sebelum datang waktunya, Ibu ingin melihat kamu berkeluarga Mel”, ucap Ibu

Aku hanya tertunduk diam mendengar ucapan Ibu.

Ucapan Ibu membuatku bangkit, semua kuserahkan pada Allah SWT, kalau memang ini jalanku, apapun yang akan terjadi aku akan jalani semua dengan ikhlas demi baktiku pada kedua orang tuaku. Akhirnya akupun keluar dari kamar. Kulihat Tetangga dan Sanak Familiku sibuk mempersiapkan acara pernikahanku besok.

Melihat kehadiranku, semua pada heboh,

“Duh yang mau menikah, kemana saja, anak sekarang mana ada yang dipingit-pingit, santai aja lagi”

Aku hanya tersenyum mendengar gurauan mereka.


Aku menghampiri Fahira yang tampak serius dengan pita-pita di tangannya.

“Apa yang bisa kubantu Non?”

Fahira langsung tersentak mendengar suaraku.

“Kak Mel....... akhirnya Tuan Putri muncul juga. Menurut Tuan Putri apakah kamarnya sudah cantik?”

“Thank ya Ra, untung ada kamu”.

“O, ya bukunya dah dibacakan?”

“Aduh Ra maaf ya, Kak Mel lagi malez banget, tapi Kak Mel janji buku itu pasti akan Kak Mel baca”.


Sebelum tidur, aku ingat akan buku yang diberikan Fahira, bergegas kubuka Laci Meja dan kuambil Novel itu. “Akhir Dari Rasa Kagum Yang Tak Tersampaikan”, penasaran langsung kubaca.


Pemuda itu hanya termangu diam disamping pohon kurma ditepi padang pasir di kota Madinah. Betapa hatinya tergoncang manakala dia tahu bahwa wanita itu akan dipersunting oleh sahabat seniornya sendiri yang bernama Abu Bakar. Seorang sahabat yang tidak diragukan lagi kesetiaannya pada rasul. Sahabat senior yang menemani rasul saat berhijrah dan pria soleh itu pula yang menyumbangkan seluruh hartanya untuk Islam ini tanpa sisa sedikitpun.

Ia mencoba untuk tetap tersenyum. Sejak dari dulu seharusnya ia sadar harus menepis apa yang dirasakannya itu, cukuplah hanya sebatas kagum kepada wanita ahli surga yang juga putri dari orang yang sangat dikasihinya. Akhirnya ia putuskan untuk menyimpan didalam hatinya saja. Cukup dia dan Allah yang tahu. Apalagi sekarang sudah ada Abu Bakar, sekarangpun ia bisa tenang karena ada lelaki yang lebih siap dan lebih baik darinya yang meminang bidadari dunia itu.

Dialah Ali Bin Abi Thalib. Seorang pemuda yang cerdas dan bahkan Nabi pun memuji karena kecerdasannya itu sendiri. Butiran pasir terus beterbangan dengan indahnya dipadang pasir tempat pemuda itu merenung. Tak berapa lama kemudian, tersiarlah kabar bahwa lamaran Abu Bakar ditolak oleh rasul. Entah seperti ada setetes embun yang menyejukan hatinya. Ternyata harapan itu masih ada. Maka dia mencoba merekatkan kembali puing-puing harapannya kembali untuk membangun nyali keberanian dan semangatnya lagi untuk bertemu sang Rasul. Ia pikir setiap manusia memang layak mendapatkan kesempatan kedua.

Tapi ternyata ia terlambat. Ada seorang sahabat senior kembali yang mendahului geraknya untuk meminang wanita solehah itu. Dia bernama Umar Bin Khatab. Ali menelan kepahitan sekali lagi. “Apa yang kurang dari Umar?” Ia adalah lelaki yang sangat kuat imannya bahkan sampai setan yang bertugas menggodanya pun sangat takut dengannya. “Mungkin dialah orang yang dicari rasul”, kata hatinya. Sebagai seorang manusia, ia mencoba merasionalisasikan pikirannya kembali. Ya, sebenarnya itu dia lakukan agar ia bisa tenang didalam hatinya untuk tetap dapat berdzikir ikhlas kepada Allah. Tidak ada alasan untuk menolak lelaki kuat seperti diri Umar Bin Khatab.

Tapi lagi-lagi Allah berkehendak lain. Lamaran Umar pun ditolak oleh rasul. Entah si cerdas itu setengah percaya atau setengah tidak, tapi yang pasti itulah yang terjadi. Siapakah sebenarnya yang rasul cari. Apakah keimanan sang Abu Bakar dan Umar Bin Khatab beserta kekayaannya masih belum cukup bagi rasul?

Didalam kamarnya, wanita ahli syurga itu masih bisa tenang dan berpikir. Fatimah belum mengerti maksud ayahnya. Sudah dua lelaki soleh yang ditolak. Fatimah tidak tahu apakah ayahnya dapat membaca isi hatinya atau tidak. Tetapi sebenarnya Fatimah saat ini pun memendam decak-decak kagumnya kepada seorang pemuda soleh diluar sana. Seorang pemuda yang sangat luar biasa keimanannya, yang lidahnya terus dibasahi oleh dzikir-dzikir cinta kepada Allah. Saat ini, seandainya dia mau, mungkin ia dapat dengan mudah mengisahkan perasaannya pada ayahnya yang sangat menyayanginya. Namun karena kesucian dirinya, sepenuh jiwanya berjihad menahan perasaannya kepada pemuda yang bernama Ali Bin Abi Thalib itu.

Disekitar padang pasir sana masih sering terlihat Ali yang sedang merenung, namun Ali tampaknya kini sudah lebih kokoh. Walaupun ia sudah tahu bahwa Umar kini mencoba meminang diri Fatimah. Baginya, kecintaan kepada seorang insan tidak akan bisa mengalahkan rasa cinta murninya kepada Allah. Karena Allah mudah sekali membolak-balikan hati seorang hambanya. Maka tak perlulah ia terlalu gusar, karena satu yang ia fahami. Bahwa kematian, rezeki dan pasangan hidup telah diputuskan sebelum ia lahir ke bumi ini oleh pencipta dirinya.

Tampak sekawanan pemuda Anshar itu tergopoh-gopoh menuju ketempat Ali berada. Raut wajah mereka tampak senang sekali seakan-akan ingin menyampaikan kabar gembira kepada Ali. Ali mengira bahwa mereka akan menyampaikan kabar gembira bahwa rasul telah menyambut seruan Umar Bin Khatab untuk mendampingi wanita itu. Kalaupun benar kabar itu, kini ia telah siap menerima kabar itu.

“Rasul menolak pinangan dari Umar, Ali”, teman Ansharnya berkata kepada dirinya. “Ali, mungkin engkaulah yang dinanti sang Rasul”, temannya kembali menegaskan. Ali terdiam sejenak. Mungkin ia bisa senang saat ini, tapi ia masih bertanya-tanya, siapakah sebenarnya yang dicari lelaki agung itu, apakah benar dirinya. ”Ah tak mungkin”, keras hatinya. “Engkau adalah pemuda yang soleh dan selalu menjaga dzikirmu kepada Allah, mungkin rasul sangat menginginkanmu datang kepadanya”, temannya mencoba terus mendorong.

Ada celah-celah langit hatinya yang bersinar kembali, setelah awan ketidakyakinan menutupi relung jiwanya. “Inikah kesempatan keduaku?” Ali mencoba memantapkan keyakinannya kembali. Saat itu pula Ali belum yakin apakah ia akan memenuhi celah langit didalam hatinya. Namun berkat dorongan teman-teman dan kemantapan hatinya akhirnya ia temui lelaki agung itu, Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasalam.

Suasana rumah rasul hening untuk sesaat. Mungkin saat itulah yang paling mendebarkan didalam hidup Ali Bin Abi Thalib, seorang pemuda yang kini mencoba meminang diri Fatimah Az Zahra. Fatimah pun dengan segenap ketegangannya berada dibalik tabir kamarnya mendengar secara sayup-sayup percakapan mereka berdua. Tiba-tiba mulut rasul mulai mengeluarkan kata-kata

“Ahlan wa Sahlan wahai Ali”. Kata-katanya cukup sampai disana. Tidak kurang dan tidak lebih. Apakah itu pertanda Iya atau Tidak itu masih belum jelas. Makna kalimat yang begitu luas seperti lautan tadi membuat Ali disana dan Fatimah didalam kamarnya tenggelam pada kebingungan.

Lambat-laun akhirnya Ali faham maksud dari sang rasul. Namun kini ia sampai pada pertanyaaan yang sangat menohok tenggorokannya. “Apakah mahar yang kau bisa berikan Ali kepada anakku Fatimah?”. Suasana menjadi hening kembali. ia coba merangkai-rangkai alasan untuk tidak menjawabnya secara langsung.

Meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan!

Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Akhirnya dia hanya bisa berkata bahwa hanya baju perang tua kesayangannya lah yang dapat ia jadikan mahar untuk meminang wanita yang dikaguminya itu. Dan dengan ekspresi senangnya, rasul pun mengiyakan apa yang dikatakan oleh Ali.

Dan akhirnya dua tali kekaguman yang tak tersampaikan itupun mampu terlilit kuat dan rapi. Allah lah yang melilitkan ikatan cinta suci itu. Inilah kisah kesabaran dan ketegaran Ali, kawan. Kisah ini terus menjadi inspirasi untuk setiap insan beriman yang ingin menjaga hatinya. Betapapun kamu kagum kepada seseorang, Allah pasti tahu itu. Maka izinkanlah hatimu itu untuk menjaganya kawan.


“teng..... teng...... teng.....”.

Aku tersentak mendengar bunyi jam, ternyata pas jam 12 malam.

Baru satu kisah yang selesai kubaca, aku menutup Novel tersebut, aku ingin shalat memohon pada Allah SWT, semoga pernikahan ku besok diredhai oleh Allah SWT.

Azan subuh membangunkan ku, aku segera bangkit untuk mengambil air wudhuk, kulihat Ibu sudah bangun dan akupun menghampiri Ibu.

“Bu...... kita shalat berjamaah ya”?

Ibupun mengangguk dan tersenyum

Selesai shalat subuh akupun sungkem pada Ibu, aku mohon maaf dan restu atas pernikahanku ini. Aku dan Ibu saling berpelukkan dan meneteskan air mata.

Tepat jam 6.00 Wib, tukang rias datang. Aku langsung diriasnya.

“Mbak..... make upnya yang sederhana saja, aku tak suka yang berlebihan”, ucapku sebelum dirias

“Jangan khawatir dek, mbak akan sulap adek menjadi wanita anggun dan cantik”.

Lebih kurang satu jam, rias wajah selesai, tapi aku belum diperbolehkan melihat wajahku. Kemudian aku disuruh memakai baju kebaya sambil dibantunya memasang kerudung. Akhirnya selesai sudah, jam sudah menunjukkan pas jam delapan. Subhanallah..... benarkah Amelia yang berada didepan cermin ini? Aku hampir tak mengenal wajahku, begitu anggun dan cantik seperti yang dibilang tukang rias itu.

Satu jam lagi Sang Pangeran yang entah bagaimana rupanya akan datang menikahiku. Jantungku berdetak kuat sekali, cemas apakah pernikahan ini benar-benar akan terjadi atau sebaliknya. “Ya Allah tenangkan jiwaku”, desisku dalam hati.

Jam 9.15 Sang Pangeranpun datang. Aku baru diperbolehkan keluar setelah selesai Ijab Kabul. Aku hanya bisa mendengar dari dalam kamar, tapi juga tak jelas. Sebentar-sebentar kupegang tangan Fahira yang sedari tadi menemaniku di kamar.

“Sabar Kak Me, sebentar lagi selesai”.

Tak lama kemudian Ibu menjemputku dan membawaku menemui Pangeran itu.

“Ya Rab....”, desisku dalam hati

Betapa kagetnya aku dan tak kusangka Pangeran yang berada di depanku adalah Kak Amran seniorku waktu kuliah dulu, pria yang pernah kukagumi. Aku tidak bisa mengungkapkan betapa bahagianya hati ini, Maha pengasih Allah kepadaku dan Maha Tahunya Allah isi hatiku. Sehingga membawakan orang yang selama ini aku kagumi.

Kenapa aku tak melihat foto kak Amran yang diberikan Ibu kepadaku dan aku tak ingat lagi dimana kusimpan foto itu. Mungkin karena saat itu aku sangat kesal, sehingga aku tak berniat melihat foto tersebut.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar