Total Tayangan Halaman

Kamis, 17 November 2011

KA'BAH YANG BEGITU DIRINDUKAN


Setiap datang bulan Haji, Mama selalu meneteskan air mata. Beliau begitu berharap bisa menunaikan Ibadah Haji. Mama pernah bercerita bahwa ka'bah itu begitu dekat, setiap beliau memejamkan mata, ka'bah begitu jelas tampak di depan beliau. Aku ikut sedih mendengar cerita mama. Bila ada teman atau sanak famili yang pergi berhaji, mama selalu mengangis saat melihat keberangkatan orang-orang tersebut.

Sedikit demi sedikit aku berusaha menyisihkan pendapatanku buat mama, agar beliau bisa secepatnya mewujudkan impian beliau tersebut.Akhirnya uang itupun cukup untuk mendaftar. Tiba-tiba beliau berat hati karena ingin pergi bersama papa. Mama tak mau pergi sendiri tanpa papa.

Sebetulnya aku bisa saja meminjam uang ke bank untuk membiayai ibadah haji mama dan papa, tapi aku takut nanti ibadah haji kedua orang tuaku tidak diterima Allah SWT. Aku hanya bisa berdo'a agar kedua orang tuaku diberi kesabaran sampai waktunya datang. Aku ingin membiayai ibadah haji kedua orang tuaku dengan uang yang halal karena Uang pinjaman di bank belum tentu halal.

Aku pernah membaca kisah tentang seseorang yang tidak berhaji tapi hajinya diterima Allah SWT.

Abdullah bin al-Mubarak hidup di Mekkah. Pada suatu waktu, setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, dia tertidur dan bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit.
“Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“600.000,” jawab malaikat lainnya.
“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak satupun”
Percakapan ini membuat Abdullah gemetar. “Apa?” aku menangis. “Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”
“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq.” Kata malaikat yang pertama. “Dia TIDAK DATANG menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Dan berkat dia, seluruh ibadah haji para jamaah haji diterima oleh Allah swt.”
Ketika aku mendengar hal ini, aku terbangun dan memutuskan untuk pergi menuju Damaskus dan mengunjungi orang ini. Jadi aku pergi ke Damaskus dan menemukan tempat dimana ia tinggal.
Aku menyapanya dan ia keluar. “ Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kau lakukan?” tanyaku. “Aku Ali bin Mowaffaq, penjual sepatu. Siapakah namamu?” Kepadanya aku mengatakan Abdullah bin al-Mubarak. Ia tiba-tiba menangis dan jatuh pingsan. Ketika ia sadar, aku memohon agar ia bercerita kepadaku.
Dia mengatakan: “Selama 40 tahun aku telah rindu untuk melakukan perjalanan haji ini. Aku telah menyisihkan 350 dirham dari hasil berdagang sepatu. Tahun ini aku memutuskan untuk pergi ke Mekkah, sejak istriku mengandung. Suatu hari istriku mencium aroma makanan yang sedang dimasak oleh tetangga sebelah, dan memohon kepadaku agar ia bisa mencicipinya sedikit.
Aku pergi menuju tetangga sebelah, mengetuk pintunya kemudian menjelaskan situasinya. Tetanggaku mendadak menangis. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu.” Hatiku serasa terbakar ketika aku mendengar ceritanya. Lalu aku mengambil 350 dirhamku dan memberikan kepadanya. “Belanjakan ini untuk anakmu,” kataku. “Inilah dana tabungan untuk perjalanan hajiku.” Dia menutup ceritanya.
“Malaikat berbicara dengan nyata di dalam mimpiku,” kata Abdullah, “dan Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam keputusanNya.” Perbuatan mulia penjual sepatu yang bernama Ali bin Mowaffaq itulah yang dijadikan Allah sebagai penyebab diterimanya amalan ibadah haji seluruh jamaah haji tahun itu.

Semoga kedua orang tuaku bisa seperti Alia bin Mowaffaq. Aamiin.

Senin, 23 Mei 2011

Pakai Jilbab Mama


Buah hatiku sekarang sudah berusia 2 tahun, seiring dengan perkembangannya dia semakin ingin tahu dan nggak mau diam. Apa yang kita lakukan diapun mau ikut melakukannya. Misalnya saja ketika aku buka Laptop, "ini apa ma"?, pokoknya setiap yang baru dilihatnya dia ingin tahu. Ketika aku mau membaca AlQur'an, diapun minta, "qu an iki ma".

Suatu ketika dia melihat ku pakai jilbab, "ini ma"? tanya Fikri.
"Ini jilbab sayang", jawabku.
"Fikri mau pake ibab ma", pintanya.
"Nggak bisa sayang, jilbab ini untuk anak perempuan, fikri laki-laki nggak boleh pake jilbab, jelasku.
Fikri merengek-rengek minta jilbab pula. "Mau ibab ma....... iki mau ibab........".

Memang sulit sih menjelaskan pada anak seumuran Fikri, tapi aku berusaha terus membuatnya mengerti.
"Fikri....... yang boleh pake jilbab itu mama, nenek, umi fina", jelasku lagi.
"Papa"?
"Nggak boleh, fikri lihat papa nggak pake jilbab kan"?
"Inyik"?
"Nggak boleh juga".
"Oom Firman"?
"Nggak boleh".

Berulang kali dia bertanya terus dan akhirnya dia mengerti. Bahkan kalau aku lupa keluar pake jilbab, eh malah Fikri yang ingatin, "Pake ibab mama".