Total Tayangan Halaman

Senin, 29 November 2010

Salahkah Aku

“Brengsek”, Kubanting pintu kamar sekuat-kuatnya “Doooooooaaaaaarrrr”…..
“Jangan maen banting aja non, emang rumah lo”, ucap dewi teman kosan ku yang kaget saat itu.
“Sorry wi”.
“Apa lo nggak sadar kalau pemilik rumah ini sakit jantung, kalau bapak itu mati lo bisa dipenjara”.
“Iya…..iya…….gua lagi pusing nih…….”, teriakku lagi.
Kuhempaskan badan ke tempat tidur, kuhela nafas panjang, namun wajahnya tak jua hilang dari ingatanku. “Pergiiiiiii, aku pusiiiiiing”, teriakku.

Mengapa ……. mengapa semua terjadi padaku, aku nggak kuat menerima semua ini. Sesak dadaku menahan amarah yang sejak tadi ku tahan, kumulai muak melihat sikapnya. Apa dia nggak tahu apa yang terjadi atau pura-pura tidak tahu.

“Siska, kamu marah ya”.
“Tidak”, desisku.
“Lantas kenapa diam saja”.
Ku mengalihkan pada Nova yang baru kupinjam dari Anggie. Melihat sikapku, iapun berlalu. “Kasihan”, semua teman-teman menyalahkannya.
”Kerja saja tidak becus”.

Panas jantungku mendengar ucapan mereka, kalau ngomel beraninya di belakang, giliran kerja mereka menghindar. Sudah berulang kali kubilang pada Ari, serahkan tugas itu pada mereka. Sayangnya Ari tidak tegas, padahal dia pintar, ide-idenya selalu cemerlang. Dengar aja omongan Vivi kalau lagi rapat, bikin sakit hati, tak peduli orang akan tersinggung. Aku paling benci lihat sikap Ari yang selalu tenang dalam mengahadapi persoalan, tegas dikit kenapa sih.

Kesal aku melihat sikap Ari, namun aku tak berani ngomel atau mengkritik kesalahannya, kecuali dia minta komentarku. Biasanya kalau sudah tak tahan lagi aku cerita pada Beno teman dekatnya kebetulan teman dekatku juga.
Usai kuliah statistik dengan pak Jimmy, Beno memanggilku dan mengajakku ke Ruang BEM
“Gimana kuliahnya tadi sis”?
“It is oke”.
“Mr. Jimmynya sih oke, pelajarannya bikin puyeng kan”?
Aku tersenyum lihat kerut kening Beno
“Oh ya Sis, ada sesuatu yang ingin kutanyakan sama kamu”.
“What About”?
“Ari, kulihat beberapa hari ini dia gelisah, apa dia ada masalah denganmu”.
“Kok nanya sama aku, mungkin sama pacarnya kali Ben”.
“Ah nggak mungkinlah, Ari sama Karina kan dah lama putus”.
Aku terdiam sejenak, meski Beno memaksaku untuk jujur.
“Jangan bohong Sis, aku lihat kamu dua hari yang lalu bersama Ari ngobrol di ruangan ini dan sehabis itu Ari berubah seperti cacing kepanasan, aku rasa kalian bertengkar kemaren, benarkan”?
“Kalau kamu dah tahu kenapa nanya lagi”, ucapku ketus
“Lo kok kamu jadi marah sis, sikapmu jadi berubah sekarang, nggak seperti siska yang kukenal dulu”.
Mendengar ucapan Beno wajahku memerah, aku bingung mulai cerita dari mana. Semua begitu cepat dan aku tak pernah berharap dekat sama Ari, dulunya aku cuma punya teman yang paling kupercaya adalah Beno, namun semua berubah setelah Ari muncul dalam kehidupanku dan karena Ari pula semua mata di kampus mencap akulah penyebab putusnya hubungan Ari dengan Karina.

Seminggu yang lalu teman kosnya Karina menemuiku, dia begitu marah padaku. Hampir saja Karina bunuh diri gara-gara aku, “Astaghfirullahal’azhiim…….. ada apa denganku”?
Apakah benar Ari memutuskan Karina karena aku?
Keterlaluan Ari, kenapa dia bawa-bawa aku dalam kehidupan pribadinya. Memang ini salahku, tak pernah bertanya tentang hubungannya dengan Karina. Soal Ari putus dengan Karina itupun aku dengar sebelum Ari diangkat menjadi ketua BEM, lantas kenapa teman-teman menyalahkan aku sebagai orang ketiga. Aku nggak berani cerita pada Ari, aku memilih untuk diam.

“Aduh non……… dah jam 7 pagi nih, masih ditempat tidur, lo nggak kuliah”? Tanya dewi bangunin aku.
“Malez wi, badan gua berat rasanya tuk bangun”.
“Apa gua nggak salah dengar, siska bolos? Waduh sis badan lo panas banget, ucap dewi sembari meraba keningku.
“Apa”?
Aku langsung tersentak, tak menyadari kalau suhu badanku sepanas ini, pantasan badanku sakit semua dan susah untuk digerakkan. Aku terpaksa izin kuliah, meski dewi cerewet gitu tapi dia perhatian banget, sampai-sampai dia bikinin aku bubur buat sarapan pagi dan sorenya aku ditemani ke rumah sakit. Alhamdulillah sakitku nggak terlalu berat, kata dokter terlalu banyak fikiran.
Dari pagi tadi Ari nelphon tapi aku malas ngomong sama dia, bahkan smsnya nggak kubalas, “lg dmn sis, nggak kuliah”?
Apa urusannya nanya-nanya aku, lagian nggak ada kegiatan di kampus yang harus dibicarakan.
“Sis, angkat dong Hpnya, sakit nih kuping gua dengar Hp lu dari tadi teriak-teriak”, omel dewi lagi.
“Biar aja deh wi”.
“Kalau nggak matiin atau banting tu sekalian HP lu”.
“Iya………iya boss…….”
Penasaran kali, Ari nekat datang ke kos ku. Aku tetap tidak mau menemui Ari, lama dia nungguin aku diteras depan. Akhirnya aku suruh dewi yang nemui Ari dan dewi cuma bilang kalau aku lagi sakit harus istirahat beberapa hari. Untungnya Ari mengerti dan dia pun balik dengan kecewa.
Lima menit setelah Ari pergi pesan darinyapun masuk, “Sis maafin aku, gara-gara aku kamu jadi sakit, kapan-kapan aku mau ngomong sama kamu, please jangan menghindar dariku”.
Aku tetap belum siap balas smsnya, biarlah waktu yang menentukan gimana akhir dari pertualangan ini. Sebetulnya aku tak punya niat untuk menyakiti hatinya, aku hanya berpikir bagaimana untuk menjahuinya tanpa ada yang terluka. Aku tak sanggup menatap mata orang-orang yang mencapku sebagai wanita pengganggu. Meski Beno bilang,”jangan pedulikan apa kata orang, jika kamu menjauh dari Ari berarti apa yang dibilang oleh orang-orang itu benar”.
Benar sih apa yang dibilang beno, tapi aku tak kuat aja menjalani semua ini.
“Udahlah sis, jangan terlalu larut dalam masalah ini, ntar sakit lo nggak sembuh-sembuh”, ucap dewi.
Sepertinya dewi juga tahu masalahku, namun aku tak mengomentarinya.
“Meski kita beda Fakultas, tapi gosip itu nyasar juga ditelinga gua dan terus terang sis, gua sedikitpun tak percaya, gua yakin lo bisa ngatasi ini semua”.
Mendengar ucapan dewi, air mataku tak lagi dapat dibendung menyesali semua, mengapa takdir mempertemukan aku dengan Ari.
Waktu seakan surut kembali pada kisah perkenalan dengan Ari. Awalnya diantara aku dan Ari boleh dibilang nggak saling kenal, lagian program study kami berbeda. Namun ketika dia terpilih menjadi ketua Senat dan akupun terpilih menjadi Sekretaris Umum, sejak itulah kami mulai akrab dan aku mulai mengenal pribadinya. Betul kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”. Kebetulan Ari satu kos sama Beno dan dari Beno aku dapat cerita kalau Ari itu orangnya baik, cerdas dan kreatif. Beno juga nggak pernah cerita kenapa Ari putus dengan Karina. Itu mungkin karena Beno tak suka mencampuri urusan pribadi orang lain.

Meski teman-teman banyak yang nggak suka dengan kepemimpinan Ari, namun mereka tak melihat sedikitpun segi baiknya. Ari sering bilang padaku kalau dirinya banyak kekurangan dan dia akan berusaha untuk memperbaikinya dan Ari juga bilang pada semua teman-teman, ”Tolong ingatkan aku kalau aku lupa atau salah”. Namun yang lain hanya bisa mencibir bila Ari melakukan ke alpaan.
Aku merasa paling beruntung dapat dekat dengannya, banyak hal yang kupelajari darinya. Namun aku tak pernah menyadari kalau ada seseorang yang cemburu melihat aku dekat dengan Ari. Lantas apa yang harus kulakukan? Menjauh dari kehidupan Ari?

Pagi ini mentari bersinar indah, kuberharap sinarnya dapat memberi cahaya dalam diriku. Kulangkahkan kaki menuju kampus yang tak berapa jauh dari tempat kos. Kasihan melihat orang-orang yang antrian menunggu bis di Halte. Aku jadi terpikir Ari yang tempat tinggalnya jauh dari kampus. Tentunya dia berdesak-desakkan didalam bis tiap pagi. Ah, mengapa dia terus yang kupikirkan.

Dari kejauhan kulihat seorang pria tampan, tinggi sedang, rambut belah tengah berdiri di depan pintu gerbang. Siapa lagi kalau bukan Ari, tapi apa yang terjadi dengan wajahnya? Ada luka dipelipis matanya dan pipi kanannya sembab dan memar.
“Siska, ke kantin yuk”.
Aku menggeleng. Dia menghadang langkahku dan sedikitpun tak mau beranjak. Kulihat tatapan matanya penuh harap.
“Apa yang terjadi sama kamu Ri”?
“Nggak pa-pa, nanti kuceritakan, aku ingin bicara dengan kamu, terserah maunya dimana”.
Mungkin semua ini harus kuakhiri, dia terlalu baik untuk disakiti. Kuarahkan pandangan ke belakang lokal. Ternyata dia mengerti akan isyaratku.
“Oke kita kesana”.
Akupun mengikuti langkahnya. Aku memilih duduk di bawah pohon jambu, dan dia memilih duduk disampingku.
“Sis, aku mau minta maaf sama kamu, karena aku kamu jadi sakit dan trima kasih telah menjadi teman terbaikku”.

Untaian kata demi kata mengalir terus dari bibirnya tanpa dapat kuhentikan. Memang itu yang harapkan, kejujurannya menceritakan semuanya.
Ari menceritakan dari awal perkenalannya dengan Karina, mereka berdua saling mencintai. Cowok mana yang nggak suka sama Karina, cantik dan anak pengusaha terpandang pula. Sejak berpacaran dengan Karina, langkah Ari selalu dibatasi, begitu salah begini salah. Apalagi kalau Ari dekat dengan teman wanita selalu dicemburuinya. Beberapa kali Ari menjelaskan pada Karina agar jangan terlalu cemburu dan mendikte semua gerak geriknya. Namun Karina tak berubah dan akhirnya Ari memutuskannya. Sempat juga Karina mengancam Ari kalau dia akan bunuh diri bila Ari memutuskannya. Ari betul-betul mantap dengan keputusnya, tak peduli apapun yang akan dilakukan oleh Karina.

Esok paginya Ari ditelpon oleh Papa Karina, mengabari kalau Karina dirawat di rumah sakit karena over dosis. Ari sempat kaget dan langsung menemui Karina di rumah sakit. Karina begitu lemah, berbicarapun nggak sanggup. Karina terlalu banyak minum obat tidur, begitu kata Papanya. Papa Karina bertanya pada Ari apa sebenarnya terjadi antara Karina dan Ari. Tanpa rasa takut Ari menceritakan semua pada Papa Karina. Mendengar penjelasan Ari, Papa Karina mohon agar Ari mencabut lagi keputusannya demi kesalamatan nyawa Karina karena Papa Karina takut kehilangan anak semata wayangnya itu. Sampai-sampai Ari diiming-imingi uang, mobil, rumah dan banyak lagi. Sedikitpun Ari tidak tergiur, dia tetap pada keputusannya. Sempat sehabis dari rumah sakit Ari dicelakai oleh beberapa orang suruhan Papa Karina sampai badannya luka lebam. Peristiwa tersebut diketahui oleh Karina, akhirnya dia mohon pada papa agar tak lagi mengganggu Ari, dia akan berusaha melupakan Ari.
Mendengar cerita Ari aku hanya bisa bergumam dalam hati, “Kasihan Karina, harusnya dia beruntung dapat kekasih seperti Ari”.
Meski demikian apa yang terjadi pada Karina jadi pelajaran bagiku, egois boleh tapi gunakan logika bukan perasaan.

“Lalu apa yang harus kulakukan sekarang Ri”?
Dia menatap wajahku dengan penuh harap
“Jangan dengar omongan orang dan jangan menjauh dari kehidupanku”.
Kemudian Ari melanjutkan kalau dia akan pindah kuliah, akupun langsung kaget.
“Apa? Kamu serius dan yang kudengar barusan nggak benarkan Ri”?
Ari menarik menghela nafas
“Benar sis, mungkin ini yang terbaik, semua kulakukan demi Karina dan kamu”.
“Nggak bisa gitu dong Ri, kamu nggak adil, tadi barusan kamu bilang jangan menjauh dari kehidupan kamu, sementara kamu pergi jauh dari aku, pokoknya aku nggak setuju dengan keputusanmu.”
“Terserah penilaian kamu terhadap aku sis, semua yang kulakukan demi kebaikan Karina dan kamu, tak lebih.”
“Apa hal ini sudah kamu bicarakan dengan dosen pembimbing, apalagi kamu ketua BEM, aku yakin tidak satupun dosen yang mengizinkan kamu pindah”.
“Sudah sis, mereka semua dapat menerima alasanku”.
Aku nggak percaya kalau dosen mengizinkan Ari pindah, tapi nggak mungkin Ari bohong padaku. Kalau ucapan Ari benar, akulah orang yang paling sedih, kehilangan teman sejati yang sulit kuungkapkan betapa berartinya Ari bagiku.
Tak sepatah katapun bisa terucap dari bibirku, begitu berat rasanya lidah ini untuk mengatakan “Jangan tinggalkan aku”. Aku hanya menangis dan berlalu meninggalkan Ari sendirian. Hanya hati kecilku yang bisa menjerit, “Ari jangan pergi............”. Aku tetap tak bisa, percuma aku melakukan itu semua.

Seminggu kemudian aku tak lagi melihat Ari, apalagi di ruangan BEM tempat kami slalu diskusi.
“Hei..... melamun aja, ntar cepat tua,” sapa Beno yang membuatku tersentak.
Beno mengulurkan sepucuk surat padaku
“Dari siapa Ben”?
“Lihat aja, ada namanya kan”, benopun berlalu
Dari Ari Putra, “apa isinya ya” tanyaku dalam hati. Aku tak berani membacanya saat itu, nanti aja di rumah.
Tak sabar sampai di tempat kos untuk membaca isi surat dari Ari.

Dear Siska
Semoga saat kamu membaca surat ku ini, kamu tidak lagi sedih karena aku. Aku pergi tak jauh dari kamu. Meski kamu tak lagi didekatku, namun kamu slalu ada dihatiku. Waktu-waktu bersamamu meski tak lama namun sungguh berarti bagiku dan tak pernah kulupa. Pesan ku hanya satu serius kuliah dan 2 tahun lagi kita akan bertemu kembali.

Ari Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar