Total Tayangan Halaman

Kamis, 21 Juni 2012

AKHIR DARI RASA KAGUM

Dua tahun setelah Wisuda, aku menikah dengan seorang pria pilihan orang tuaku. Saat itu, aku belum siap untuk berumah tangga, aku masih punya keinginan untuk menggapai cita-citaku yang belum kesampaian. Pria tersebut putra dari Sahabat Ayah sewaktu kuliah dulu. Semenjak Ayah meninggal, sahabat Ayah tersebut selalu membantu keluargaku. Ibuku hanya ibu rumah tangga dan sepeninggal Ayah, Ibu harus membanting tulang mengajar mengaji dari rumah ke rumah. Untungnya Ibu sejak kecil pintar mengaji dan sering ikut Musabaqah. Penghasilan Ibu memang tidak seberapa, Alhamdulillah cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku dan adikku Irwan mendapatkan beasiswa di sekolah, sehingga Ibu tak mengkhawatirkan biaya pendidikan kami. Disamping itu sejak kuliah aku juga bekerja sebagai guru privat.

Disaat sahabat Ayah datang ke rumah untuk melamar, Ibu langsung menerima tanpa minta persetujuanku terlebih dahulu. Aku sangat marah sekali waktu itu, sampai-sampai aku tidak bertegur sapa dengan Ibu. Bahkan waktu yang dijanjikan hanya satu bulan, sama sekali aku tidak mengerti dengan keputusan Ibu. Apakah Ibu sudah kenal dengan orang yang akan dijodohkan denganku? Tapi apakah cukup dengan melihat foto saja, seseorang bisa suka tanpa mengenal pribadi masing-masing. “Pria aneh” besitku dalam hati, tapi dia seorang dosen.

Dua hari setelah lamaran itu, Ibu membawa seorang tukang jahit ke rumah untuk mengukur baju untukku. Aku tetap bersikeras tidak mau diukur, akhirnya Ibu mengambil salah satu baju dari lemariku.

Aku tidak punya cara bagaimana agar pernikahan ini gagal. Sahabat dekatku Fahira juga tak bisa membantu. Semasa kuliah Fahira tahu kalau aku menyukai salah seorang senior yang saat itu menjadi Asisten Dosen. Namun perasaanku tak kesampaian karena dia begitu cepat meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studynya ke Australi. Seperti biasa Fahira sering datang ke rumah, bercerita tentang pekerjaan dan kali ini dia membawa sebuah Novel hadiah dari seseorang yang mengaguminya. Melihat judulnya aku ikut tertarik untuk membacanya dan dengan senang hati Fahirapun meminjamkan Novel itu.

“Dijaga Novelnya ya kak, jangan sampai hilang lo”.

“Kelihatannya bu guru kita ini sayang bangat sama Novelnya atau orang yang ngasih Novel ini ya”.

“Idih kak Mel mulai lagi deh,” balas Fahira sembari mencubit pipiku.

“Nggak canda kok, kak Mel serius, jadi udah sebulan ngajar gimana ceritanya nih”.

“Fahira ngerti maksud kak Mel apa, Alhamdulillah tadi Fahira terima gaji pertama lo kak, jangan khawatir kak Me pasti Fahira traktir deh”, ucap Fahira

“Kamu harus bersyukur dek, meski kamu disana sebagai guru bantu, siapa tahu nanti kamu bisa menjadi guru tetap”.

“Aamiin.....”, jawab Fahira.

Hari yang begitu menakutkan bagiku pun datang. Sudah dua hari Fahira menginap di rumahku, dia sibuk menghiasi kamar pengantin buatku sementara aku masih berkurung diri di kamar. Sebagai seorang anak yang akan menikah, seharusnya minta maaf pada orang tua, namun aku tidak melakukannya. Selesai shalat Isya, Ibu datang ke kamar dan menghampiriku yang sedang membaca AlQur'an.

“Amel, Ibu ingin bicara sama kamu, sebentar saja”, ucap Ibu

Akupun menutup Alqur'an

“Amel, besok hari pernikahanmu, Ibu tahu kamu sangat marah dengan keputusan Ibu ini, Ibu minta maaf, Ibu yakin pria itu baik buat kamu, Ibu sudah tua mel, dalam waktu dekat Ibupun pasti dipanggil Sang Khalik dan sebelum datang waktunya, Ibu ingin melihat kamu berkeluarga Mel”, ucap Ibu

Aku hanya tertunduk diam mendengar ucapan Ibu.

Ucapan Ibu membuatku bangkit, semua kuserahkan pada Allah SWT, kalau memang ini jalanku, apapun yang akan terjadi aku akan jalani semua dengan ikhlas demi baktiku pada kedua orang tuaku. Akhirnya akupun keluar dari kamar. Kulihat Tetangga dan Sanak Familiku sibuk mempersiapkan acara pernikahanku besok.

Melihat kehadiranku, semua pada heboh,

“Duh yang mau menikah, kemana saja, anak sekarang mana ada yang dipingit-pingit, santai aja lagi”

Aku hanya tersenyum mendengar gurauan mereka.


Aku menghampiri Fahira yang tampak serius dengan pita-pita di tangannya.

“Apa yang bisa kubantu Non?”

Fahira langsung tersentak mendengar suaraku.

“Kak Mel....... akhirnya Tuan Putri muncul juga. Menurut Tuan Putri apakah kamarnya sudah cantik?”

“Thank ya Ra, untung ada kamu”.

“O, ya bukunya dah dibacakan?”

“Aduh Ra maaf ya, Kak Mel lagi malez banget, tapi Kak Mel janji buku itu pasti akan Kak Mel baca”.


Sebelum tidur, aku ingat akan buku yang diberikan Fahira, bergegas kubuka Laci Meja dan kuambil Novel itu. “Akhir Dari Rasa Kagum Yang Tak Tersampaikan”, penasaran langsung kubaca.


Pemuda itu hanya termangu diam disamping pohon kurma ditepi padang pasir di kota Madinah. Betapa hatinya tergoncang manakala dia tahu bahwa wanita itu akan dipersunting oleh sahabat seniornya sendiri yang bernama Abu Bakar. Seorang sahabat yang tidak diragukan lagi kesetiaannya pada rasul. Sahabat senior yang menemani rasul saat berhijrah dan pria soleh itu pula yang menyumbangkan seluruh hartanya untuk Islam ini tanpa sisa sedikitpun.

Ia mencoba untuk tetap tersenyum. Sejak dari dulu seharusnya ia sadar harus menepis apa yang dirasakannya itu, cukuplah hanya sebatas kagum kepada wanita ahli surga yang juga putri dari orang yang sangat dikasihinya. Akhirnya ia putuskan untuk menyimpan didalam hatinya saja. Cukup dia dan Allah yang tahu. Apalagi sekarang sudah ada Abu Bakar, sekarangpun ia bisa tenang karena ada lelaki yang lebih siap dan lebih baik darinya yang meminang bidadari dunia itu.

Dialah Ali Bin Abi Thalib. Seorang pemuda yang cerdas dan bahkan Nabi pun memuji karena kecerdasannya itu sendiri. Butiran pasir terus beterbangan dengan indahnya dipadang pasir tempat pemuda itu merenung. Tak berapa lama kemudian, tersiarlah kabar bahwa lamaran Abu Bakar ditolak oleh rasul. Entah seperti ada setetes embun yang menyejukan hatinya. Ternyata harapan itu masih ada. Maka dia mencoba merekatkan kembali puing-puing harapannya kembali untuk membangun nyali keberanian dan semangatnya lagi untuk bertemu sang Rasul. Ia pikir setiap manusia memang layak mendapatkan kesempatan kedua.

Tapi ternyata ia terlambat. Ada seorang sahabat senior kembali yang mendahului geraknya untuk meminang wanita solehah itu. Dia bernama Umar Bin Khatab. Ali menelan kepahitan sekali lagi. “Apa yang kurang dari Umar?” Ia adalah lelaki yang sangat kuat imannya bahkan sampai setan yang bertugas menggodanya pun sangat takut dengannya. “Mungkin dialah orang yang dicari rasul”, kata hatinya. Sebagai seorang manusia, ia mencoba merasionalisasikan pikirannya kembali. Ya, sebenarnya itu dia lakukan agar ia bisa tenang didalam hatinya untuk tetap dapat berdzikir ikhlas kepada Allah. Tidak ada alasan untuk menolak lelaki kuat seperti diri Umar Bin Khatab.

Tapi lagi-lagi Allah berkehendak lain. Lamaran Umar pun ditolak oleh rasul. Entah si cerdas itu setengah percaya atau setengah tidak, tapi yang pasti itulah yang terjadi. Siapakah sebenarnya yang rasul cari. Apakah keimanan sang Abu Bakar dan Umar Bin Khatab beserta kekayaannya masih belum cukup bagi rasul?

Didalam kamarnya, wanita ahli syurga itu masih bisa tenang dan berpikir. Fatimah belum mengerti maksud ayahnya. Sudah dua lelaki soleh yang ditolak. Fatimah tidak tahu apakah ayahnya dapat membaca isi hatinya atau tidak. Tetapi sebenarnya Fatimah saat ini pun memendam decak-decak kagumnya kepada seorang pemuda soleh diluar sana. Seorang pemuda yang sangat luar biasa keimanannya, yang lidahnya terus dibasahi oleh dzikir-dzikir cinta kepada Allah. Saat ini, seandainya dia mau, mungkin ia dapat dengan mudah mengisahkan perasaannya pada ayahnya yang sangat menyayanginya. Namun karena kesucian dirinya, sepenuh jiwanya berjihad menahan perasaannya kepada pemuda yang bernama Ali Bin Abi Thalib itu.

Disekitar padang pasir sana masih sering terlihat Ali yang sedang merenung, namun Ali tampaknya kini sudah lebih kokoh. Walaupun ia sudah tahu bahwa Umar kini mencoba meminang diri Fatimah. Baginya, kecintaan kepada seorang insan tidak akan bisa mengalahkan rasa cinta murninya kepada Allah. Karena Allah mudah sekali membolak-balikan hati seorang hambanya. Maka tak perlulah ia terlalu gusar, karena satu yang ia fahami. Bahwa kematian, rezeki dan pasangan hidup telah diputuskan sebelum ia lahir ke bumi ini oleh pencipta dirinya.

Tampak sekawanan pemuda Anshar itu tergopoh-gopoh menuju ketempat Ali berada. Raut wajah mereka tampak senang sekali seakan-akan ingin menyampaikan kabar gembira kepada Ali. Ali mengira bahwa mereka akan menyampaikan kabar gembira bahwa rasul telah menyambut seruan Umar Bin Khatab untuk mendampingi wanita itu. Kalaupun benar kabar itu, kini ia telah siap menerima kabar itu.

“Rasul menolak pinangan dari Umar, Ali”, teman Ansharnya berkata kepada dirinya. “Ali, mungkin engkaulah yang dinanti sang Rasul”, temannya kembali menegaskan. Ali terdiam sejenak. Mungkin ia bisa senang saat ini, tapi ia masih bertanya-tanya, siapakah sebenarnya yang dicari lelaki agung itu, apakah benar dirinya. ”Ah tak mungkin”, keras hatinya. “Engkau adalah pemuda yang soleh dan selalu menjaga dzikirmu kepada Allah, mungkin rasul sangat menginginkanmu datang kepadanya”, temannya mencoba terus mendorong.

Ada celah-celah langit hatinya yang bersinar kembali, setelah awan ketidakyakinan menutupi relung jiwanya. “Inikah kesempatan keduaku?” Ali mencoba memantapkan keyakinannya kembali. Saat itu pula Ali belum yakin apakah ia akan memenuhi celah langit didalam hatinya. Namun berkat dorongan teman-teman dan kemantapan hatinya akhirnya ia temui lelaki agung itu, Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasalam.

Suasana rumah rasul hening untuk sesaat. Mungkin saat itulah yang paling mendebarkan didalam hidup Ali Bin Abi Thalib, seorang pemuda yang kini mencoba meminang diri Fatimah Az Zahra. Fatimah pun dengan segenap ketegangannya berada dibalik tabir kamarnya mendengar secara sayup-sayup percakapan mereka berdua. Tiba-tiba mulut rasul mulai mengeluarkan kata-kata

“Ahlan wa Sahlan wahai Ali”. Kata-katanya cukup sampai disana. Tidak kurang dan tidak lebih. Apakah itu pertanda Iya atau Tidak itu masih belum jelas. Makna kalimat yang begitu luas seperti lautan tadi membuat Ali disana dan Fatimah didalam kamarnya tenggelam pada kebingungan.

Lambat-laun akhirnya Ali faham maksud dari sang rasul. Namun kini ia sampai pada pertanyaaan yang sangat menohok tenggorokannya. “Apakah mahar yang kau bisa berikan Ali kepada anakku Fatimah?”. Suasana menjadi hening kembali. ia coba merangkai-rangkai alasan untuk tidak menjawabnya secara langsung.

Meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan!

Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Akhirnya dia hanya bisa berkata bahwa hanya baju perang tua kesayangannya lah yang dapat ia jadikan mahar untuk meminang wanita yang dikaguminya itu. Dan dengan ekspresi senangnya, rasul pun mengiyakan apa yang dikatakan oleh Ali.

Dan akhirnya dua tali kekaguman yang tak tersampaikan itupun mampu terlilit kuat dan rapi. Allah lah yang melilitkan ikatan cinta suci itu. Inilah kisah kesabaran dan ketegaran Ali, kawan. Kisah ini terus menjadi inspirasi untuk setiap insan beriman yang ingin menjaga hatinya. Betapapun kamu kagum kepada seseorang, Allah pasti tahu itu. Maka izinkanlah hatimu itu untuk menjaganya kawan.


“teng..... teng...... teng.....”.

Aku tersentak mendengar bunyi jam, ternyata pas jam 12 malam.

Baru satu kisah yang selesai kubaca, aku menutup Novel tersebut, aku ingin shalat memohon pada Allah SWT, semoga pernikahan ku besok diredhai oleh Allah SWT.

Azan subuh membangunkan ku, aku segera bangkit untuk mengambil air wudhuk, kulihat Ibu sudah bangun dan akupun menghampiri Ibu.

“Bu...... kita shalat berjamaah ya”?

Ibupun mengangguk dan tersenyum

Selesai shalat subuh akupun sungkem pada Ibu, aku mohon maaf dan restu atas pernikahanku ini. Aku dan Ibu saling berpelukkan dan meneteskan air mata.

Tepat jam 6.00 Wib, tukang rias datang. Aku langsung diriasnya.

“Mbak..... make upnya yang sederhana saja, aku tak suka yang berlebihan”, ucapku sebelum dirias

“Jangan khawatir dek, mbak akan sulap adek menjadi wanita anggun dan cantik”.

Lebih kurang satu jam, rias wajah selesai, tapi aku belum diperbolehkan melihat wajahku. Kemudian aku disuruh memakai baju kebaya sambil dibantunya memasang kerudung. Akhirnya selesai sudah, jam sudah menunjukkan pas jam delapan. Subhanallah..... benarkah Amelia yang berada didepan cermin ini? Aku hampir tak mengenal wajahku, begitu anggun dan cantik seperti yang dibilang tukang rias itu.

Satu jam lagi Sang Pangeran yang entah bagaimana rupanya akan datang menikahiku. Jantungku berdetak kuat sekali, cemas apakah pernikahan ini benar-benar akan terjadi atau sebaliknya. “Ya Allah tenangkan jiwaku”, desisku dalam hati.

Jam 9.15 Sang Pangeranpun datang. Aku baru diperbolehkan keluar setelah selesai Ijab Kabul. Aku hanya bisa mendengar dari dalam kamar, tapi juga tak jelas. Sebentar-sebentar kupegang tangan Fahira yang sedari tadi menemaniku di kamar.

“Sabar Kak Me, sebentar lagi selesai”.

Tak lama kemudian Ibu menjemputku dan membawaku menemui Pangeran itu.

“Ya Rab....”, desisku dalam hati

Betapa kagetnya aku dan tak kusangka Pangeran yang berada di depanku adalah Kak Amran seniorku waktu kuliah dulu, pria yang pernah kukagumi. Aku tidak bisa mengungkapkan betapa bahagianya hati ini, Maha pengasih Allah kepadaku dan Maha Tahunya Allah isi hatiku. Sehingga membawakan orang yang selama ini aku kagumi.

Kenapa aku tak melihat foto kak Amran yang diberikan Ibu kepadaku dan aku tak ingat lagi dimana kusimpan foto itu. Mungkin karena saat itu aku sangat kesal, sehingga aku tak berniat melihat foto tersebut.





Kamis, 17 November 2011

KA'BAH YANG BEGITU DIRINDUKAN


Setiap datang bulan Haji, Mama selalu meneteskan air mata. Beliau begitu berharap bisa menunaikan Ibadah Haji. Mama pernah bercerita bahwa ka'bah itu begitu dekat, setiap beliau memejamkan mata, ka'bah begitu jelas tampak di depan beliau. Aku ikut sedih mendengar cerita mama. Bila ada teman atau sanak famili yang pergi berhaji, mama selalu mengangis saat melihat keberangkatan orang-orang tersebut.

Sedikit demi sedikit aku berusaha menyisihkan pendapatanku buat mama, agar beliau bisa secepatnya mewujudkan impian beliau tersebut.Akhirnya uang itupun cukup untuk mendaftar. Tiba-tiba beliau berat hati karena ingin pergi bersama papa. Mama tak mau pergi sendiri tanpa papa.

Sebetulnya aku bisa saja meminjam uang ke bank untuk membiayai ibadah haji mama dan papa, tapi aku takut nanti ibadah haji kedua orang tuaku tidak diterima Allah SWT. Aku hanya bisa berdo'a agar kedua orang tuaku diberi kesabaran sampai waktunya datang. Aku ingin membiayai ibadah haji kedua orang tuaku dengan uang yang halal karena Uang pinjaman di bank belum tentu halal.

Aku pernah membaca kisah tentang seseorang yang tidak berhaji tapi hajinya diterima Allah SWT.

Abdullah bin al-Mubarak hidup di Mekkah. Pada suatu waktu, setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, dia tertidur dan bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit.
“Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“600.000,” jawab malaikat lainnya.
“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak satupun”
Percakapan ini membuat Abdullah gemetar. “Apa?” aku menangis. “Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”
“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq.” Kata malaikat yang pertama. “Dia TIDAK DATANG menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Dan berkat dia, seluruh ibadah haji para jamaah haji diterima oleh Allah swt.”
Ketika aku mendengar hal ini, aku terbangun dan memutuskan untuk pergi menuju Damaskus dan mengunjungi orang ini. Jadi aku pergi ke Damaskus dan menemukan tempat dimana ia tinggal.
Aku menyapanya dan ia keluar. “ Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kau lakukan?” tanyaku. “Aku Ali bin Mowaffaq, penjual sepatu. Siapakah namamu?” Kepadanya aku mengatakan Abdullah bin al-Mubarak. Ia tiba-tiba menangis dan jatuh pingsan. Ketika ia sadar, aku memohon agar ia bercerita kepadaku.
Dia mengatakan: “Selama 40 tahun aku telah rindu untuk melakukan perjalanan haji ini. Aku telah menyisihkan 350 dirham dari hasil berdagang sepatu. Tahun ini aku memutuskan untuk pergi ke Mekkah, sejak istriku mengandung. Suatu hari istriku mencium aroma makanan yang sedang dimasak oleh tetangga sebelah, dan memohon kepadaku agar ia bisa mencicipinya sedikit.
Aku pergi menuju tetangga sebelah, mengetuk pintunya kemudian menjelaskan situasinya. Tetanggaku mendadak menangis. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu.” Hatiku serasa terbakar ketika aku mendengar ceritanya. Lalu aku mengambil 350 dirhamku dan memberikan kepadanya. “Belanjakan ini untuk anakmu,” kataku. “Inilah dana tabungan untuk perjalanan hajiku.” Dia menutup ceritanya.
“Malaikat berbicara dengan nyata di dalam mimpiku,” kata Abdullah, “dan Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam keputusanNya.” Perbuatan mulia penjual sepatu yang bernama Ali bin Mowaffaq itulah yang dijadikan Allah sebagai penyebab diterimanya amalan ibadah haji seluruh jamaah haji tahun itu.

Semoga kedua orang tuaku bisa seperti Alia bin Mowaffaq. Aamiin.

Senin, 23 Mei 2011

Pakai Jilbab Mama


Buah hatiku sekarang sudah berusia 2 tahun, seiring dengan perkembangannya dia semakin ingin tahu dan nggak mau diam. Apa yang kita lakukan diapun mau ikut melakukannya. Misalnya saja ketika aku buka Laptop, "ini apa ma"?, pokoknya setiap yang baru dilihatnya dia ingin tahu. Ketika aku mau membaca AlQur'an, diapun minta, "qu an iki ma".

Suatu ketika dia melihat ku pakai jilbab, "ini ma"? tanya Fikri.
"Ini jilbab sayang", jawabku.
"Fikri mau pake ibab ma", pintanya.
"Nggak bisa sayang, jilbab ini untuk anak perempuan, fikri laki-laki nggak boleh pake jilbab, jelasku.
Fikri merengek-rengek minta jilbab pula. "Mau ibab ma....... iki mau ibab........".

Memang sulit sih menjelaskan pada anak seumuran Fikri, tapi aku berusaha terus membuatnya mengerti.
"Fikri....... yang boleh pake jilbab itu mama, nenek, umi fina", jelasku lagi.
"Papa"?
"Nggak boleh, fikri lihat papa nggak pake jilbab kan"?
"Inyik"?
"Nggak boleh juga".
"Oom Firman"?
"Nggak boleh".

Berulang kali dia bertanya terus dan akhirnya dia mengerti. Bahkan kalau aku lupa keluar pake jilbab, eh malah Fikri yang ingatin, "Pake ibab mama".

Selasa, 30 November 2010

Bukan Selingkuh Yang Kutakutkan

Sudah lewat magrib, dia belum juga pulang. Dari Ashar tadi kuhubungi tapi Handphonenya nggak aktif. Pikiranku mulai tak menentu, apakah dia dalam bahaya?
“Ya Allah pelihara suami hamba”, bisikku dalam hati.
“Yan, suamimu dah pulang”? tanya ibu
“Belum bu”, sahutku
“Memangnya Farhan kemana”?
“Nggak bilang bu, mungkin kehujanan kali dijalan, jadi nunggu hujan reda dulu”.

Akupun melanjutkan mengaji yang baru 3 ayat kubaca. Tak lama kemudian Azhan Isya berkumandang bersamaan dengan suara motor Mas Farhan.

“Alhamdulillah, Mas Farhan pulang”, ucapku
Aku buru-buru membukakan pintu

“Kehujanan mas”?sapaku
Mas Farhan menganggukkan kepalanya sembari memberikan mantel yang basah kepadaku

“Tolong dijemur ya dek”.
Akupun menyiapkan kopi hangat dan makan malam buat Mas Farhan. Sehabis Makan malam Mas Farhan ke kamar mengambil Notebooknya.

“Banyak pekerjaan tadi di Kampus Mas”?
“Lumayan dek, bikin soal buat ujian mid”.
“Yani pikir tadi mas Farhan ada seminar, lain kali kalau mas telat pulangnya kasih kabar, Yani jadi cemas”.
“Kamu kan tahu sendiri kalau mas tadi kehujanan”.
“Tadi memang mas kehujanan, kemaren dan kemarennya lagi………..udah 3 hari ini mas pulang telat terus, Yani coba telphone tapi Handphonenya nggak aktif”.
“Ooooo…. Mas sengaja matikan Handphone kalau lagi ngajar, lagian mas tidak pernah melakukan hal lain di luar tugas mas sebagai pengajar, kamu harus percaya itu, apa yang kamu cemaskan, atau kamu curiga mas akan selingkuh dengan mahasiswi?

Mendengar ucapan mas Farhan mataku langsung berkaca-kaca dan akhirnya air matapun tak terbendung lagi.

“Lho dek kok nangis, apa ucapan mas barusan menyinggung perasaanmu”?
Aku menggeleng
“Lalu kenapa”?

Takut ketahuan ibu, akupun langsung masuk kamar. Sedang Mas Farhan tetap melanjutkan tugasnya di ruang makan.
Seperti biasa aku mengambil buku harian dan meluapkan semua perasaanku yang sedari tadi mau meledak.

Hampir tiga tahun aku dengan Mas Farhan menikah, tak pernah sedikitpun aku merasa curiga padanya. Aku yakin Mas Farhan adalah Lelaki yang terbaik diberikan Allah untukku dan aku mempercayainya lebih dari 100 %. Selama ini dia suami yang sangat jujur, biar mahasiswinya cantik-cantik dan seksi namun tak pernah ada perasaan curiga kalau mas Farhan akan selingkung.

Aku sangat takut terjadi hal buruk padanya, aku khawatir kalau dia sakit karena kelelahan atau hal buruk lainnya terjadi pada Mas Farhan. Aku ingin Mas Farhan selalu ada disampingku sampai akhir hayatku untuk bersama-sama membesarkan buah hati yang sekarang sedang lucu-lucunya. Aku selalu berdo’a supaya Allah SWT selalu memberi kekuatan dan kesehatan pada Mas Farhan dan terhindar dari marabahaya kemanapun ia melangkahkan kakinya. Semoga apa yang ia lakukan mendapat Ridho dari Allah SWT.

Tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di keningku, dan aku langsung terbangun.
“Pagi sayang, shalat subuh berjamaah yuk”.
Aku menganggukkan kepala.

Selesai shalat subuh, kulihat mas Farhan masih berdo’a, lama sekali tidak seperti biasanya. Habis berdo’a Mas Farhan membalikkan badannya dan menatapku sembari menggenggam kedua tanganku.

“Dek, kamu percaya bahwa Allah itu Maha segalanya”?
Aku menganggukkan kepala
“Jangan pernah cemas dan takut, orang yang slalu mendekatkan diri pada Allah SWT, akan terhindar dari perbuatan yang tercela, kemana dan dimanapun ia berada slalu dalam lindunganNya, yakinlah itu dek”.
“Ya mas, maafkan Yani yang selama ini terlalu khawatir”.
“Khawatir itu boleh tapi berlebihan itu tidak baik”.
Aku mencium tangannya yang masih menggenggam erat tanganku. Mas Farhan kemudian memelukku.

(Buat suamiku tercinta)

Laptop dan Sajadah

Di sebuah kamar berukuran 3x4 tampak seorang pemuda tengah tertidur lelap, karena kelelahan bekerja seharian. Kamarnya seperti kapal pecah, tampak sebuah laptop dan kertas-kertas yang berserakan di atas sebuah meja kecil, di samping tempat tidur. Sementara itu di bawah tempat tidur tergeletak sebuah sajadah yang terlipat, sedang menangis.

Mendengar tangisan Sajadah, Laptop yang tadinya tidur langsung terbangun dan bertanya pada sajadah.

“Hai..Sajadah, kenapa engkau menangis?”

Sajadah tak menghiraukan pertanyaan Laptop, ia terus menangis.

Dan Laptop kembali bertanya dengan lemah-lembut

“Sajadah, kalau engkau ada masalah berceritalah padaku, barangkali ada yang bisa aku bantu. Ayo ceritakan apa yang telah terjadi..!!”

Akhirnya Sajadah pun luluh hatinya dan mulai mau menceritakan kesedihannya pada Laptop.

“Sudah berbulan-bulan pemuda itu membiarkanku tergeletak disini, aku tak pernah lagi disentuhnya, bahkan sudah jatuh ke lantai aku tak pula dihiraukannya”, jawab Sajadah sedih.

“Kalau boleh aku tahu biasanya engkau ditaruh dimana?” tanya Laptop lagi.

“Dulu aku selalu diletakkan di tempat yang istimewa, terkadang dalam lemari atau di sandaran kursi. Dulu dia juga sangat perhatian padaku, sama seperti halnya padamu. Meskipun tidak seperti kamu yang selalu dibawa kemana-mana seharian. Lima kali sehari saja dia mau bersamaku, sudah cukup bagiku dan itu pun hanya lima menit. Namun semenjak engkau hadir di sini, pemuda itu tak lagi mengacuhkanku, aku sedih sekali”, tutur Sajadah seraya menangis.

“Maafkan aku Sajadah, karena aku maka engkau jadi sedih”, ujar Laptop.

“Engkau tidaklah bersalah, mungkin karena aku tidak lagi menarik di hatinya dan tidak bisa membuatnya bahagia”, balas Sajadah.

Keesokan harinya pemuda tersebut bangun dan langsung menghidupkan Laptopnya, bermaksud hendak menyelesaikan tugas kantor.

“Sial............, kenapa Laptop ini nggak bisa hidup, padahal semalam masih baik-baik saja”, jerit pemuda itu.

Dia berusaha terus mengutak-atik Laptopnya, namun tidak juga hidup.

“Habis........... habis semuanya, aku gagal kali ini, apalagi daya upayaku, semua rencanaku sia-sia”, teriaknya sembari membuang kertas-kertas yang terletak di meja kerjanya.

Lama pemuda itu mondar-mandir di kamarnya, memikirkan apa yang harus dilakukan, tapi tak ada hasil.

Tiba-tiba matanya tertuju pada Sajadah yang jatuh di bawah tempat tidurnya, pemuda tersebut sadar lalu mengangkat Sajadah itu. Setelah lama memandangi Sajadah, dia segera beranjak ke kamar mandi melakukan yang harus dikerjakannya, dan tak lama kemudian pemuda itu pun tampak bersujud di atas Sajadah menghadap Sang Khalik. Sehabis sholat pemuda tersebut kembali menundukan wajahnya ke atas Sajadah sembari menangis, mengingat semua kesulitan akibat kealpaan yang telah ia lakukan.

Tidak lama berselang tiba-tiba Laptopnya hidup, dan pemuda itu pun langsung bangun dari sujudnya dengan suka ria sambil berucap;

“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, aku selama ini telah melupakan kebesaran Mu.
Sejak itu pula pemuda tersebut tak pernah lagi meninggalkan ibadah Sholatnya, dan menyadari bahwa dengan sholat setiap kesulitan akan diberi kemudahan oleh Sang Pencipta.

Nurlela Oh Nurlela

Ditatapnya wajah Annisa dan Raja satu persatu, kemudian Nurlela mencium kening anaknya yang masih terlelap. Selesai menunaikan shalat Subuh Nurlela harus berangkat ke pasar seperti hari-hari sebelumnya. Nurlela menghampiri suaminya yang sedang menyedu kopi hangat buatannya.
“Bang, lela berangkat dulu”, ucap lela sembari mencium tangan suaminya.
“Hati-hati ya la”.

Pagi itu begitu dingin, asap kabutpun masih menyelimuti daerah pegunungan tempat Nurlela tinggal, tepatnya Nagari Sungai Puar. Setiap pagi Nurlela harus menelusuri jalanan yang masih gelap itu. Bukan Nurlela saja, masih banyak wanita-wanita di Nagari itu yang senasib dengan Nurlela.
Sepuluh tahun Nurlela membawa Ijazahnya kemana-mana namun tak ada gunanya, rasanya nggak ada artinya Nurlela mati-matian belajar mendapatkan nilai kumlout. Setiap kali ingat akan hal itu, Nurlela jadi putus asa. Menunggu dan selalu menunggu panggilan untuk mengajar di sebuah sekolah, harapan itu kini telah pudar. Begitupun suaminya Jamil, seorang Sarjana Ekonomi yang sekarang hanya bekerja sebagai Kuli Bangunan.

Melihat kedua anak mereka yang semakin hari semakin tumbuh besar, membuat Nurlela mengambil keputusan untuk membantu suaminya mencari nafkah, apa saja yang penting halal. Awalnya Nana tetangga sebelah rumah Nurlela yang bekerja sebagai pengupas kulit bawang di Gudang Bawang Pasar Aur Kuning. Meski pendapatannya sehari tak seberapa tapi cukuplah sekedar tambahan beli lauk untuk sehari-hari. Nurlela jadi tertarik mengikuti jejak Nana dan diutarakanlah pada suaminya.
“Bukannya Abang larang kamu untuk kerja, kasihan anak-anak nggak ada yang ngurus, kasihan ibu sudah tua.”
“Tapi Bang, Lela ingin sekali membantu Abang, sebentar lagi Annisa masuk sekolah, bagaimana dengan biayanya nanti, sedangkan gaji abang hanya cukup untuk biaya kita sehari-hari”.
“Kita harus banyak bersabar la, roda itu berputar, tak selamanya kita berada dibawah, Insya Allah pasti ada perubahan.
Mendengar percakapan Nurlela dan Jamil, Ibu Nurlela keluar dari kamarnya.
“Kalau kamu tetap ingin kerja, silakan saja, biar anak-anak bersama ibu, lagian mereka sudah besar nggak perlu digendong kan”?
“Ya tapi bu, Nurlela pasti seharian bekerja, nanti ibu yang susah”, ucap Jamil.
“Nggak apa-apa”.
Mendengar ucapan Ibunya Nurlela jadi kuat untuk melangkah, meski sejuta persoalan yang nanti akan terjadi namun Nurlela tetap pada keputusannya.

“Assalaamu’alaikum”, suara Nurlela terdengar dari dalam rumah, membuat kedua anaknya berlarian menyambut kedatanganya. Kedua bocah itu begitu merindukan kehangatan pelukan mamanya yang hanya setiap malam tiba dapat mereka rasakan. Nurlela tahu bagaimana mengobati kerinduan anaknya, onde-onde kesukaan buah hatinya itu selalu jadi hadiah untuk mencairkan suasana hati mereka yang lagi gundah.
“Asyiiiiiik...... onde-ode lagi, makasih ma”, ucap mereka sembari lompat-lompatan.

Melihat kedua buah hatinya kembali ceria, Nurlelapun merasa tenang tanpa beban. Sebetulnya sepulang dari pasar, Nurlela ingin sekali merebahkan badan agak lima atau sepuluh menit saja di tempat tidur, tapi untuk sarapan besok harus disiapkannya sebelum tidur karena besok pagi terlalu buru-buru.
“Bang Jamil kemana bu”? tanya Nurlela pada Ibunya yang sedang mengaji di kamar.
“Abangmu belum pulang dari tadi”.
“Apa? Seharusnya jam lima sore kan sudah di rumah”.

Pikiran Nurlela makin tak menentu, sudah jam delapan suaminya belum pulang juga. Nurlela Bingung harus mencari suaminya kemana, sementara dia tidak tahu satupun rumah teman suaminya. Dia hanya bisa berdo’a semoga suaminya baik-baik saja.
“Assalaamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam”, ucap Nurlela yang bergegas membukakan pintu.
“Alhamdulillah”, ucapnya sembari memeluk tubuh besar yang berada didepannya.

Suaminya spontan kaget melihat sikap istrinya itu.
“Ada apa la”?
“Abang membuat lela khawatir, kenapa abang telat pulangnya”?
“Maaf la, tadi sehabis pulang kerja abang ke rumah sakit tengok teman abang yang tadi mengalami kecelakaan waktu kerja.”
“Astaghfirullahal’azhiim, lela pikir abang yang kena musibah, lalu bagaimana dengan teman abang itu”?
“Cukup parah la, semoga saja cepat sembuh”.

Sehabis menyugukan minuman buat suaminya Nurlela kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur. Sementara kedua anaknya sudah terlelap bersama Nenaknya yang selama ini menemani mereka.
“Udah jam sepuluh la, istirahat dulu”, tegur suaminya.
“Hampir siap bang, kalau abang dah ngantuk duluan deh, lela nanti nyusul”.

Subuh kembali datang, Nurlela dan suaminya segera bangun menunaikan shalat Subuh berjamaah. Sehabis shalat Nurlela merebahkan kepalanya kepangkuan suaminya.
“Kamu pasti capek kan”? ucap suaminya sembari mengusap kepala istrinya.
“Dalam hati kecil ini lela ingin selalu bisa bersama-sama dengan Abang dan anak-anak kita”.
“Udah dari awal abang bilang, kamu nggak usah kerja, biar abang saja sedangkan kamu di rumah ngurus anak-anak dan ibu, kasihan mereka”.

Nurlela terdiam, kembali bayangan masa lalu hadir. Kenapa dia begitu cepat menerima lamaran Bang Jamil, coba dia cari kerja dulu, padahal waktu itu banyak yang menawarkan untuk mengajar. Setelah menikah Nurlela rupanya keburu hamil, sehingga kesempatan itu hilang. Kembali Nurlela menyesali, apalagi melihat kedua anaknya, mereka tidak bisa memiliki mainan seperti anak-anak yang seusianya.
“Ma, Dina beli boneka bagus, Nisa mau boneka pula mama”, ngadu nisa kepadanya.
“Sayang, uang mama belum ada, nanti kalau mama dah gajian mama belikan ya”?
Tak lama kemudian Rajapun datang.
“Mama, Raja juga dibelikan mobil yang besar ya, seperti punya Angga”.
“Ya Allah, apakah selamanya kehidupan kami seperti ini”? keluh Nurlela dalam hati

Gaji satu hari yang diterima Nurlela dari mengupas kulit bawangpun tak cukup untuk membelikan mainan untuk kedua buah hatinya. Rasanya Nurlela berdosa pada kedua anaknya karena Nurlela belum bisa memenuhi janji-janji yang entah kapan bisa terpenuhi.

“Lela…….. kamu tertidur sayang”?
Suara suaminya membangunkan Nurlela dari lamunannya.
“Astaghfirullah, udah jam 6.00 bang, lela harus siap-siap, takut telat nyampe di gudang”.

Dengan tatapan yang begitu rusuh, Jamil melepas kepergian istrinya. Dipeluknya tubuh Nurlela yang semakin hari terlihat kurus dan wajahnyapun tampak pucat. Jamil begitu khawatir melihat keadaan Nurlela, namun dia tak dapat mencegat kemauannya untuk bekerja. Jamil belum bisa memberi kebahagiaan buat istri dan anak-anaknya. Jamil telah berusaha mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan namun tak satupun perusahaan yang bisa menerimanya. Alasan mereka karyawan penuh dan tidak menerima karyawan baru. Menjadi kuli bangunan sangat menyiksa bagi Jamil, tenaganya terlalu terkuras untuk pekerjaan itu, sayangnya Jamil tak punya keahlian yang lain.

Sore itu Nurlela pulang cepat dari hari biasanya, badannya terlihat begitu lelah.
“Mama kenapa”? tanya Annisa melihat mamanya
“Nggak pa-pa sayang, mama ke kamar dulu ya”?
Nurlela membaringkan badannya di tempat tidur. Tak lama kemudian ibunya datang.
“Lela, kamu sakit nak”?
“Tidak bu, lela capek aja”.
“Wajah kamu tampak pucat nak, kalau lagi kurang enak badan jangan dipaksakan untuk kerja”.
Nurlela menganggukan kepalanya,”Lela istirahat dulu bu”.

Jam 5.00 Wib sore Jamilpun pulang. Annisa yang membukakan pintu untuk papanya langsung memeluk tubuh papanya itu.
“Ada apa sayang?”
“Mama…. Pa”?
Tanpa pikir panjang, Jamil buru-buru ke kamar menghampiri istrinya yang sedari tadi masih berada di tempat tidur.
“Sayang, kamu kenapa”? ucap Jamil sembari mengusap kepala istrinya.
“Lela nggak apa-apa bang, capek aja”.
Dipegangnya tangan istrinya yang tampak kotor sehabis mengupas bawang yang belum sempat dicucinya.
“Besok kamu nggak usah kerja lagi, sedih abang lihat kamu, badanmu semakin kurus, lihat tanganmu yang selalu kotor dan menjadi kasar, wajahmu pun tak lagi berseri.” Nurlela tersenyum meski dipaksakan mendengar ucapan suaminya barusan.
“Lalu apa bang Jamil mau nikah lagi kalau Lela nggak cantik lagi”?
“Nikah? Apa hubungannya la? Nggak ada niat Abang untuk itu, cinta Abang sama kamu dan anak-anak tak tergantikan oleh apapun”.
Nurlela percaya, dia masih ingat betapa buru-burunya Jamil ingin melamarnya. Ketika masih kuliah begitu banyak Mahasiswa UNP yang antrian, untungnya hati Nurlela cuma terpikat pada Jamil.

Nurlela mulai nggak betah berlama-lama di rumah, diapun kembali mengupas bawang di Gudang. Meski penghasilan tak seberapa dibandingkan lelahnya namun hatinya bahagia bisa tertawa bersama-sama dengan ibu-ibu yang datang dari berbagai tempat. Mereka saling berbagi, bercerita tentang anak-anak dan keseharian mereka di pasar.
“Lela...........lela…….”, terdengar seseorang memanggil namanya.
Buru-buru lela keluar mencari datangnya suara itu, rupanya Maknya si Nana. Sejuta tanya muncul dipikiran Nurlela, tentang ibu, anak-anak atau suaminya, apakah sesuatu terjadi dengan mereka?
“Ada apa mak”?
“Aku disuruh ibu kau menjemput kau, tadi pagi pegawai dari kantor Nagari mencari kau, kau disuruh ke kantor sekarang juga”.
Tanpa pikir panjang, Nurlela pulang bersama Maknya si Nana. Nurlela langsung menuju kantor Nagari.
“Assalaamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”, jawab seseorang dari dalam
Nurlelapun masuk menemui seorang lelaki separoh baya yang duduk di sudut ruangan tersebut.
“Ibu Nurlela?”
“Benar Pak”
“Ada surat untuk Ibu Nurlela dari Al Fitrah”.
Mendengar Al Fitrah, Nurlela hampir saja lupa kapan ia terakhir kali mengirim lamaran kesana, yang jelas sudah lebih satu tahun. Al Fitrah merupakan lembaga pendidikan terbesar dan ternama dan tidak semua orang bisa diterima disana.
Sesampai di rumah, Nurlela membuka surat tersebut dan membacanya. Nurlela diminta untuk datang besok jam 7.00 WIB. Nurlela bersyukur sekali dapat panggilan, tapi dia belum yakin dapat diterima mengajar, tentunya ada beberapa test yang akan dia jalani. Meski belum pasti, khabar itu segera ia beritahu pada suaminya.
“Alhamdulillah, semoga saja ini awal yang baik”, ucap suaminya.
“Tapi lela belum pasti diterima lo Bang”.
“Pokoknya kamu harus yakin, Insya Allah do’a kita selama ini akan dikabulkan oleh Allah SWT”.
“Aamiin”.

Sebelum jam 7.00 Wib Nurlela sudah sampai di Al Fitrah. Beberapa orang guru sudah berdatangan dan Nurlelapun dipersilakan menunggu di ruang tamu. Tepat jam 7.00 Wib Nurlela dipanggil oleh seseorang untuk masuk ke sebuah ruangan dan Nurlela pun mengikuti orang tersebut. Di ruangan yang berukuran 4 x 3 cm tersebut Nurlela berhadapan dengan seorang laki-laki yang berusia sekitar 40-an. Nurlela dihujani berbagai pertanyaan yang membuatnya cukup tegang, namun ia berusaha mengendalikan itu semua. Meski sudah sepuluh tahun tak mengulangi pelajaran kuliah, namun semua pertanyaan tidak asing baginya. Ketika keluar dari ruangan tersebut dilihatnya jam sudah menunjukan pukul 10.00 Wib.

Pada hari yang sama, malamnya Jamil memberitahu kabar gembira pada Nurlela yang tak pernah diduganya. Ketika melihat temannya yang dirawat di rumah sakit, Jamil bertemu dengan kawan kuliahnya dulu yang bernama Irwan. Orang tua Irwan kebetulan dirawat di rumah sakit. Rupanya Irwan telah menjadi Pengusaha Sukses di Jakarta dan dia mengajak Jamil bekerja di Perusahaannya.
“Apa kamu setuju la”?
“Alhamdulillah kalau memang itu benar, lela nggak larang abang kerja di Jakarta, tapi apakah benar Irwan punya perusahaan? Dan kalau abang ke Jakarta, bagaimana dengan Lela dan anak-anak”?
“Bukan di Jakarta la, Irwan akan membuka cabang di Bukittinggi”.
“Alhamdulillah, tentu saja lela setuju bang”.

Dua hari setelah itu datang lagi surat dari Al Fitrah, kali ini langsung diantar oleh Pegawai kantor Nagari ke rumah Nurlela. Kebetulan hari itu Nurlela tidak ke pasar, Raja lagi demam. Tak sabar Nurlela membuka dan membaca surat tersebut, sebelumnya ia menduga surat panggilan untuk mengikuti test selanjutnya. Selesai membaca surat tersebut Nurlela menangis dan bersujud di lantai.
“Alhamdulillah……….Alhamdulillah……….terima kasih ya Allah”
Mendengar lela menangis, Ibunya buru-buru ke luar dari kamar karena kaget dan menghampiri Nurlela.
“Kenapa la, apa lagi yang terjadi”?
“Alhamdulillah bu, lela akhirnya diterima mengajar di Al Fitrah”
Ibunyapun akhirnya ikut menangis karena bahagia.

Senin, 29 November 2010

Salahkah Aku

“Brengsek”, Kubanting pintu kamar sekuat-kuatnya “Doooooooaaaaaarrrr”…..
“Jangan maen banting aja non, emang rumah lo”, ucap dewi teman kosan ku yang kaget saat itu.
“Sorry wi”.
“Apa lo nggak sadar kalau pemilik rumah ini sakit jantung, kalau bapak itu mati lo bisa dipenjara”.
“Iya…..iya…….gua lagi pusing nih…….”, teriakku lagi.
Kuhempaskan badan ke tempat tidur, kuhela nafas panjang, namun wajahnya tak jua hilang dari ingatanku. “Pergiiiiiii, aku pusiiiiiing”, teriakku.

Mengapa ……. mengapa semua terjadi padaku, aku nggak kuat menerima semua ini. Sesak dadaku menahan amarah yang sejak tadi ku tahan, kumulai muak melihat sikapnya. Apa dia nggak tahu apa yang terjadi atau pura-pura tidak tahu.

“Siska, kamu marah ya”.
“Tidak”, desisku.
“Lantas kenapa diam saja”.
Ku mengalihkan pada Nova yang baru kupinjam dari Anggie. Melihat sikapku, iapun berlalu. “Kasihan”, semua teman-teman menyalahkannya.
”Kerja saja tidak becus”.

Panas jantungku mendengar ucapan mereka, kalau ngomel beraninya di belakang, giliran kerja mereka menghindar. Sudah berulang kali kubilang pada Ari, serahkan tugas itu pada mereka. Sayangnya Ari tidak tegas, padahal dia pintar, ide-idenya selalu cemerlang. Dengar aja omongan Vivi kalau lagi rapat, bikin sakit hati, tak peduli orang akan tersinggung. Aku paling benci lihat sikap Ari yang selalu tenang dalam mengahadapi persoalan, tegas dikit kenapa sih.

Kesal aku melihat sikap Ari, namun aku tak berani ngomel atau mengkritik kesalahannya, kecuali dia minta komentarku. Biasanya kalau sudah tak tahan lagi aku cerita pada Beno teman dekatnya kebetulan teman dekatku juga.
Usai kuliah statistik dengan pak Jimmy, Beno memanggilku dan mengajakku ke Ruang BEM
“Gimana kuliahnya tadi sis”?
“It is oke”.
“Mr. Jimmynya sih oke, pelajarannya bikin puyeng kan”?
Aku tersenyum lihat kerut kening Beno
“Oh ya Sis, ada sesuatu yang ingin kutanyakan sama kamu”.
“What About”?
“Ari, kulihat beberapa hari ini dia gelisah, apa dia ada masalah denganmu”.
“Kok nanya sama aku, mungkin sama pacarnya kali Ben”.
“Ah nggak mungkinlah, Ari sama Karina kan dah lama putus”.
Aku terdiam sejenak, meski Beno memaksaku untuk jujur.
“Jangan bohong Sis, aku lihat kamu dua hari yang lalu bersama Ari ngobrol di ruangan ini dan sehabis itu Ari berubah seperti cacing kepanasan, aku rasa kalian bertengkar kemaren, benarkan”?
“Kalau kamu dah tahu kenapa nanya lagi”, ucapku ketus
“Lo kok kamu jadi marah sis, sikapmu jadi berubah sekarang, nggak seperti siska yang kukenal dulu”.
Mendengar ucapan Beno wajahku memerah, aku bingung mulai cerita dari mana. Semua begitu cepat dan aku tak pernah berharap dekat sama Ari, dulunya aku cuma punya teman yang paling kupercaya adalah Beno, namun semua berubah setelah Ari muncul dalam kehidupanku dan karena Ari pula semua mata di kampus mencap akulah penyebab putusnya hubungan Ari dengan Karina.

Seminggu yang lalu teman kosnya Karina menemuiku, dia begitu marah padaku. Hampir saja Karina bunuh diri gara-gara aku, “Astaghfirullahal’azhiim…….. ada apa denganku”?
Apakah benar Ari memutuskan Karina karena aku?
Keterlaluan Ari, kenapa dia bawa-bawa aku dalam kehidupan pribadinya. Memang ini salahku, tak pernah bertanya tentang hubungannya dengan Karina. Soal Ari putus dengan Karina itupun aku dengar sebelum Ari diangkat menjadi ketua BEM, lantas kenapa teman-teman menyalahkan aku sebagai orang ketiga. Aku nggak berani cerita pada Ari, aku memilih untuk diam.

“Aduh non……… dah jam 7 pagi nih, masih ditempat tidur, lo nggak kuliah”? Tanya dewi bangunin aku.
“Malez wi, badan gua berat rasanya tuk bangun”.
“Apa gua nggak salah dengar, siska bolos? Waduh sis badan lo panas banget, ucap dewi sembari meraba keningku.
“Apa”?
Aku langsung tersentak, tak menyadari kalau suhu badanku sepanas ini, pantasan badanku sakit semua dan susah untuk digerakkan. Aku terpaksa izin kuliah, meski dewi cerewet gitu tapi dia perhatian banget, sampai-sampai dia bikinin aku bubur buat sarapan pagi dan sorenya aku ditemani ke rumah sakit. Alhamdulillah sakitku nggak terlalu berat, kata dokter terlalu banyak fikiran.
Dari pagi tadi Ari nelphon tapi aku malas ngomong sama dia, bahkan smsnya nggak kubalas, “lg dmn sis, nggak kuliah”?
Apa urusannya nanya-nanya aku, lagian nggak ada kegiatan di kampus yang harus dibicarakan.
“Sis, angkat dong Hpnya, sakit nih kuping gua dengar Hp lu dari tadi teriak-teriak”, omel dewi lagi.
“Biar aja deh wi”.
“Kalau nggak matiin atau banting tu sekalian HP lu”.
“Iya………iya boss…….”
Penasaran kali, Ari nekat datang ke kos ku. Aku tetap tidak mau menemui Ari, lama dia nungguin aku diteras depan. Akhirnya aku suruh dewi yang nemui Ari dan dewi cuma bilang kalau aku lagi sakit harus istirahat beberapa hari. Untungnya Ari mengerti dan dia pun balik dengan kecewa.
Lima menit setelah Ari pergi pesan darinyapun masuk, “Sis maafin aku, gara-gara aku kamu jadi sakit, kapan-kapan aku mau ngomong sama kamu, please jangan menghindar dariku”.
Aku tetap belum siap balas smsnya, biarlah waktu yang menentukan gimana akhir dari pertualangan ini. Sebetulnya aku tak punya niat untuk menyakiti hatinya, aku hanya berpikir bagaimana untuk menjahuinya tanpa ada yang terluka. Aku tak sanggup menatap mata orang-orang yang mencapku sebagai wanita pengganggu. Meski Beno bilang,”jangan pedulikan apa kata orang, jika kamu menjauh dari Ari berarti apa yang dibilang oleh orang-orang itu benar”.
Benar sih apa yang dibilang beno, tapi aku tak kuat aja menjalani semua ini.
“Udahlah sis, jangan terlalu larut dalam masalah ini, ntar sakit lo nggak sembuh-sembuh”, ucap dewi.
Sepertinya dewi juga tahu masalahku, namun aku tak mengomentarinya.
“Meski kita beda Fakultas, tapi gosip itu nyasar juga ditelinga gua dan terus terang sis, gua sedikitpun tak percaya, gua yakin lo bisa ngatasi ini semua”.
Mendengar ucapan dewi, air mataku tak lagi dapat dibendung menyesali semua, mengapa takdir mempertemukan aku dengan Ari.
Waktu seakan surut kembali pada kisah perkenalan dengan Ari. Awalnya diantara aku dan Ari boleh dibilang nggak saling kenal, lagian program study kami berbeda. Namun ketika dia terpilih menjadi ketua Senat dan akupun terpilih menjadi Sekretaris Umum, sejak itulah kami mulai akrab dan aku mulai mengenal pribadinya. Betul kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”. Kebetulan Ari satu kos sama Beno dan dari Beno aku dapat cerita kalau Ari itu orangnya baik, cerdas dan kreatif. Beno juga nggak pernah cerita kenapa Ari putus dengan Karina. Itu mungkin karena Beno tak suka mencampuri urusan pribadi orang lain.

Meski teman-teman banyak yang nggak suka dengan kepemimpinan Ari, namun mereka tak melihat sedikitpun segi baiknya. Ari sering bilang padaku kalau dirinya banyak kekurangan dan dia akan berusaha untuk memperbaikinya dan Ari juga bilang pada semua teman-teman, ”Tolong ingatkan aku kalau aku lupa atau salah”. Namun yang lain hanya bisa mencibir bila Ari melakukan ke alpaan.
Aku merasa paling beruntung dapat dekat dengannya, banyak hal yang kupelajari darinya. Namun aku tak pernah menyadari kalau ada seseorang yang cemburu melihat aku dekat dengan Ari. Lantas apa yang harus kulakukan? Menjauh dari kehidupan Ari?

Pagi ini mentari bersinar indah, kuberharap sinarnya dapat memberi cahaya dalam diriku. Kulangkahkan kaki menuju kampus yang tak berapa jauh dari tempat kos. Kasihan melihat orang-orang yang antrian menunggu bis di Halte. Aku jadi terpikir Ari yang tempat tinggalnya jauh dari kampus. Tentunya dia berdesak-desakkan didalam bis tiap pagi. Ah, mengapa dia terus yang kupikirkan.

Dari kejauhan kulihat seorang pria tampan, tinggi sedang, rambut belah tengah berdiri di depan pintu gerbang. Siapa lagi kalau bukan Ari, tapi apa yang terjadi dengan wajahnya? Ada luka dipelipis matanya dan pipi kanannya sembab dan memar.
“Siska, ke kantin yuk”.
Aku menggeleng. Dia menghadang langkahku dan sedikitpun tak mau beranjak. Kulihat tatapan matanya penuh harap.
“Apa yang terjadi sama kamu Ri”?
“Nggak pa-pa, nanti kuceritakan, aku ingin bicara dengan kamu, terserah maunya dimana”.
Mungkin semua ini harus kuakhiri, dia terlalu baik untuk disakiti. Kuarahkan pandangan ke belakang lokal. Ternyata dia mengerti akan isyaratku.
“Oke kita kesana”.
Akupun mengikuti langkahnya. Aku memilih duduk di bawah pohon jambu, dan dia memilih duduk disampingku.
“Sis, aku mau minta maaf sama kamu, karena aku kamu jadi sakit dan trima kasih telah menjadi teman terbaikku”.

Untaian kata demi kata mengalir terus dari bibirnya tanpa dapat kuhentikan. Memang itu yang harapkan, kejujurannya menceritakan semuanya.
Ari menceritakan dari awal perkenalannya dengan Karina, mereka berdua saling mencintai. Cowok mana yang nggak suka sama Karina, cantik dan anak pengusaha terpandang pula. Sejak berpacaran dengan Karina, langkah Ari selalu dibatasi, begitu salah begini salah. Apalagi kalau Ari dekat dengan teman wanita selalu dicemburuinya. Beberapa kali Ari menjelaskan pada Karina agar jangan terlalu cemburu dan mendikte semua gerak geriknya. Namun Karina tak berubah dan akhirnya Ari memutuskannya. Sempat juga Karina mengancam Ari kalau dia akan bunuh diri bila Ari memutuskannya. Ari betul-betul mantap dengan keputusnya, tak peduli apapun yang akan dilakukan oleh Karina.

Esok paginya Ari ditelpon oleh Papa Karina, mengabari kalau Karina dirawat di rumah sakit karena over dosis. Ari sempat kaget dan langsung menemui Karina di rumah sakit. Karina begitu lemah, berbicarapun nggak sanggup. Karina terlalu banyak minum obat tidur, begitu kata Papanya. Papa Karina bertanya pada Ari apa sebenarnya terjadi antara Karina dan Ari. Tanpa rasa takut Ari menceritakan semua pada Papa Karina. Mendengar penjelasan Ari, Papa Karina mohon agar Ari mencabut lagi keputusannya demi kesalamatan nyawa Karina karena Papa Karina takut kehilangan anak semata wayangnya itu. Sampai-sampai Ari diiming-imingi uang, mobil, rumah dan banyak lagi. Sedikitpun Ari tidak tergiur, dia tetap pada keputusannya. Sempat sehabis dari rumah sakit Ari dicelakai oleh beberapa orang suruhan Papa Karina sampai badannya luka lebam. Peristiwa tersebut diketahui oleh Karina, akhirnya dia mohon pada papa agar tak lagi mengganggu Ari, dia akan berusaha melupakan Ari.
Mendengar cerita Ari aku hanya bisa bergumam dalam hati, “Kasihan Karina, harusnya dia beruntung dapat kekasih seperti Ari”.
Meski demikian apa yang terjadi pada Karina jadi pelajaran bagiku, egois boleh tapi gunakan logika bukan perasaan.

“Lalu apa yang harus kulakukan sekarang Ri”?
Dia menatap wajahku dengan penuh harap
“Jangan dengar omongan orang dan jangan menjauh dari kehidupanku”.
Kemudian Ari melanjutkan kalau dia akan pindah kuliah, akupun langsung kaget.
“Apa? Kamu serius dan yang kudengar barusan nggak benarkan Ri”?
Ari menarik menghela nafas
“Benar sis, mungkin ini yang terbaik, semua kulakukan demi Karina dan kamu”.
“Nggak bisa gitu dong Ri, kamu nggak adil, tadi barusan kamu bilang jangan menjauh dari kehidupan kamu, sementara kamu pergi jauh dari aku, pokoknya aku nggak setuju dengan keputusanmu.”
“Terserah penilaian kamu terhadap aku sis, semua yang kulakukan demi kebaikan Karina dan kamu, tak lebih.”
“Apa hal ini sudah kamu bicarakan dengan dosen pembimbing, apalagi kamu ketua BEM, aku yakin tidak satupun dosen yang mengizinkan kamu pindah”.
“Sudah sis, mereka semua dapat menerima alasanku”.
Aku nggak percaya kalau dosen mengizinkan Ari pindah, tapi nggak mungkin Ari bohong padaku. Kalau ucapan Ari benar, akulah orang yang paling sedih, kehilangan teman sejati yang sulit kuungkapkan betapa berartinya Ari bagiku.
Tak sepatah katapun bisa terucap dari bibirku, begitu berat rasanya lidah ini untuk mengatakan “Jangan tinggalkan aku”. Aku hanya menangis dan berlalu meninggalkan Ari sendirian. Hanya hati kecilku yang bisa menjerit, “Ari jangan pergi............”. Aku tetap tak bisa, percuma aku melakukan itu semua.

Seminggu kemudian aku tak lagi melihat Ari, apalagi di ruangan BEM tempat kami slalu diskusi.
“Hei..... melamun aja, ntar cepat tua,” sapa Beno yang membuatku tersentak.
Beno mengulurkan sepucuk surat padaku
“Dari siapa Ben”?
“Lihat aja, ada namanya kan”, benopun berlalu
Dari Ari Putra, “apa isinya ya” tanyaku dalam hati. Aku tak berani membacanya saat itu, nanti aja di rumah.
Tak sabar sampai di tempat kos untuk membaca isi surat dari Ari.

Dear Siska
Semoga saat kamu membaca surat ku ini, kamu tidak lagi sedih karena aku. Aku pergi tak jauh dari kamu. Meski kamu tak lagi didekatku, namun kamu slalu ada dihatiku. Waktu-waktu bersamamu meski tak lama namun sungguh berarti bagiku dan tak pernah kulupa. Pesan ku hanya satu serius kuliah dan 2 tahun lagi kita akan bertemu kembali.

Ari Putra